Gemajustisia.com - Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan seksual adalah salah satu perkara yang cukup banyak dibahas dalam diskursus masyarakat Indonesia dewasa ini. Kesadaran publik akan urgensinya semakin meningkat dibanding beberapa dekade lampau, berikutan dengan terbukanya keran informasi dan aktifnya advokasi di bidang ini oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Hal ini diwarnai pula dengan semakin beragamnya corak ideologis pada pergerakan yang menyuarakan isu kekerasan seksual ini, mulai dari gerakan feminis baik berhaluan liberal, radikal, bahkan religius maupun yang berseberangan dengannya, yaitu yang cenderung konservatif-tradisionalis.
Diskursus kekerasan seksual di Indonesia telah sampai pada tahap dirumuskannya sebuah produk hukum yang mengaturnya secara konkret, yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Wujud rancangan undang-undang ini dapat dipandang sebagai salah satu upaya untuk mengubah pandangan mayoritas masyarakat Indonesia saat ini, atau sebagai suatu reaksi yang kuat dari resistennya struktur sosial maupun legal nasional pada saat ini dalam perkara kekerasan seksual. Namun begitu, pengesahan RUU PKS masih memiliki aral yang melintang, terutama akibat penentangan dari beberapa faksi politik tertentu di Dewan Perwakilan Rakyat pada masa jabatan 2014-2019. Dihadapkan dengan tertundanya RUU PKS, beberapa gerakan di akar rumput telah mendesak institusinya masing-masing untuk menerapkan peraturan serupa dalam menangani perkara kekerasan seksual. Salah satunya adalah upaya civitas akademika Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyusun tata prosedur penanganan kekerasan seksual apabila terjadi di kampus dalam bentuk Peraturan Rektor. Hal serupa dilakukan oleh Kementerian Agama, yang menerbitkan panduan yang berlaku bagi perguruan tinggi keagamaan Islam negeri maupun swasta. Penerbitan panduan dan peraturan tersebut berpanduan pada beberapa produk hukum positif, yakni Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yang telah diratifikasi oleh Indonesia lewat UU No. 7 Tahun 1984; UU Sistem Pendidikan Nasional; serta UU Guru dan Dosen.
Bercermin dari tren yang berlaku dewasa ini, perguruan-perguruan tinggi di Sumatera Barat perlu pula rasanya turut serta dalam menerbitkan peraturan kampus yang dapat mewujudkan penghapusan kekerasan seksual. Setidaknya ada tiga alasan-alasan yang dapat mendasari: alasan akademis, budaya, dan strategis.
Lingkungan akademik yang aman dan inklusif adalah salah satu persyaratan perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi-nya secara aman tanpa adanya potensi gangguan seperti kekerasan seksual. Proses pendidikan dan pengajaran, performa penelitian, dan bakti kepada masyarakat sekitar hanya dapat terwujud jika lingkungan akademis dapat memperlakukan mereka di dalamnya sesuai hak dan kewajiban masing-masing: hak untuk tidak disiksa, hak untuk dilindungi pribadi, martabat dan kehormatannya, dan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin.
Kekerasan seksual bukan hanya melanggar hak-hak dasar seseorang, namun juga merusak tatanan sebuah lingkungan akademis yang pada dasarnya berpegang pada hubungan antar-manusia dalam ilmu pengetahuan. Sebuah lingkungan akademis di mana kekerasan seksual bersimaharajalela tidak dapat memproduksi cendekia-cendekia yang bermutu, oleh karena lingkungan yang menciptakannya sendiri tidak dapat memenuhi penghormatan terhadap hak-hak dan kewajiban dasar yang memanusiakan manusia.
Secara budaya, posisi perguruan-perguruan tinggi di Sumatera Barat membuatnya lumayan unik untuk merespon diskursus modern mengenai kekerasan seksual di Indonesia. Masyarakat Minangkabau, yang ternama sebagai satu dari sedikit masyarakat matrilineal di dunia, memiliki konsep dan cara pandang mengenai gender yang membedakannya dengan suku-bangsa lainnya di Indonesia. Sebelum terkikis oleh kolonialisme dan modernisme, kekuasaan sosial, politik, dan ekonomi di tanah Minangkabau dipegang oleh kaum perempuan; dan pada batas tertentu pengaruhnya masih tetap bertahan hingga hari ini. Konsep adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah yang memosisikan adat Minangkabau berkompromi dengan aturan-aturan agama Islam menempatkan kaum perempuan pada posisi yang terhormat dan lebih berpengaruh dalam masyarakat pada umumnya.
Mengapa kaum perempuan? Perlu dipahami bahwa kekerasan seksual secara universal dianggap sebagai gender-based violence, kekerasan yang berbasis gender. Secara proporsi, perempuan membentuk sebagian besar dari jumlah korban kekerasan seksual. Di Indonesia, Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016 yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual selama hidupnya, baik oleh pasangan maupun tidak.
Sebuah masyarakat yang mendapuk tradisi mengistimewakan kedudukan kaum perempuan, betapapun telah dikikis oleh globalisme, memiliki kepentingan yang lebih mendesak untuk menangani kekerasan seksual. Tidak dapat orang Minang modern mendapuk diri sebagai penjunjung harkat matrilinealisme bila Sumatera Barat masih mencatat sekitar 172 kasus kekerasan seksual dalam tiga tahun terakhir (data Women Crisis Center Nurani Perempuan Sumbar, September 2019). Begitu pula, perguruan-perguruan tinggi di Sumatera Barat tidak boleh membiarkan dirinya sebagai perguruan tinggi utama di tanah Minangkabau untuk diam berpangku tangan dan tidak turut aktif memberantas pelecehan seksual yang dapat mencoreng martabat masyarakat di sekitarnya.
Wujudnya peraturan penghapusan kekerasan seksual dapat membedakan kualitas sebuah kampus dengan kampus-kampus lain. Adanya peraturan semacam ini dapat menaikkan profil sebuah perguruan tinggi sebagai kampus yang responsif terhadap keperluan sivitasnya dan peduli akan isu-isu terkini yang dapat mempengaruhi masyarakat luas. Dalam rangka menuju perguruan tinggi yang dapat bersaing di kancah nasional hingga mendapat pengiktirafan level internasional, hal-hal seperti ini amat perlu diperhatikan.
Untuk mewujudkan peraturan penghapusan kekerasan seksual di sebuah kampus, komitmen dari para pemangku kepentingan amat diperlukan. Kita perlu menaruh harapan yang sewajarnya kepada badan-badan pergerakan mahasiswa, baik yang terlembaga maupun tidak, untuk mengumpulkan dan menyusun aspirasi dari pihak mahasiswa. Di sisi lain, kepemimpinan universitas yang baru juga dapat mulai mempertimbangkan dan mengkaji penyusunan peraturan ini, yang dapat berupa sebuah standard operating procedure dalam penanganan kekerasan seksual dalam bentuk Peraturan Rektor yang kuat dan mengikat.
Perlu diakui bahwa mewujudkan sebuah peraturan semacam ini tidak akan mudah. Tidak dapat kita abaikan kontroversi pengesahan RUU PKS di tingkat nasional, sehingga aspirasi-aspirasi pro-kontra pada wacana ini tidak dapat dipandang lalu. Oleh karena itu, keterlibatan civitas akademik harus didorong sepenuhnya.
Sebuah kampus yang modern, maju, dan berperadaban semestinya dapat merespon isu-isu terkini yang ada pada masyarakat di sekitarnya. Kekerasan seksual bukan lagi suatu perkara yang dapat ditunda-tunda penanganannya. Kampus-kampus di Sumatera Barat harus dapat memulai langkah maju ke depan; tak hanya untuk melindungi kepentingannya sendiri, namun juga untuk memajukan kejayaan bangsanya Penulis : Muhammad Ramzy Muliawan Editor : Nurfitriani Yohanes
0 Comments