Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Tuai Pro Kontra, Mas Nadiem: “Saya Harap Masyarakat Pikirannya Terbuka.”

Liputan dan Berita Editorial
Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Tuai Pro Kontra, Mas Nadiem: “Saya Harap Masyarakat Pikirannya Terbuka.”

Gemajustisia.com - Akhir-akhir ini, media sosial tengah diramaikan dengan mencuatnya isu kekerasan dan pelecehan seksual di kampus. Isu tersebut mengundang banyak keprihatinan dari berbagai kalangan di masyarakat.

Imej kampus sebagai wadah bagi para kaum intelektual yang mayoritasnya berasal dari generasi muda telah ternodai, kampus yang seharusnya menjadi tempat aman bagi generasi muda Indonesia justru berubah menjadi tempat yang patut diwaspadai.

Dengan melihat kenyataan tersebut, insan intelektual di Indonesia perlu untuk dilindungi secara tegas oleh hukum dan pemerintah, namun sampai sekarang RUU PKS (TPKS) masih menjadi sebuah perdebatan dan belum pasti kapan akan disahkan.

Salah satu contoh dari sekian banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampus adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum Dosen di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia.

Dimana kasus tersebut baru diketahui akhir-akhir ini setelah korban membuat video pengakuan yang kemudian menjadi viral di kalangan masyarakat.

Data yang didapat dari Komnas Perempuan menyatakan bahwa kampus menempati salah satu posisi rentan sebagai tempat terjadinya pelecehan seksual. Dimana sepanjang tahun 2015-2020, Komnas Perempuan telah menerima 27% aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan.

Kemudian data serupa yang berasal dari Kemendikbud Ristek menyatakan bahwa sebesar 77% persen dari dosen yang disurvei mengungkapkan, bahwa kekerasan seksual acap kali terjadi di kampus dan 63% diantaranya tidak dilaporkan.

Korban cenderung merasa takut untuk melaporkan pelaku yang merupakan tenaga pendidiknya sendiri karena telah diancam. Pelaku biasanya akan mengancam korban yang merupakan mahasiswanya dengan embel-embel tidak akan diluluskan di mata kuliahnya, atau skripsi korban tidak akan diterima. Korban juga merasa ragu untuk melapor karena pihak kampus yang bersikap acuh tak acuh terhadap aduannya.

Dengan rentannya kasus pelecahan seksual yang terjadi di kampus, maka pemerintah harus bersikap tegas dan menghukum pelaku dengan hukuman yang setimpal serta seberat-beratnya agar kasus pelecehan seksual di kampus dapat ditangulangi dan diberantas.

Untuk mendukung dan memberikan kejelasan hukum kepada para penyintas pelecehan seksual, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi per 3 September 2021 akhirnya mengeluarkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi sebagai upaya untuk menuntaskan dan memberantas masalah pelecehan seksual di kampus.

Melalui Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021, Kemendikbud membawa harapan yang besar bagi para korban pelecehan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi.

Dengan adanya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tersebut, diharapkan adanya ketegasan hukum dalam membela korban dan menghukum pelaku pelecehan seksual.

Namun, jika melihat kenyataan yang ada, Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Peraturan Menteri itu menuai berbagai kontroversi di berbagai kalangan, mulai dari Pasal yang dinilai multitafsir, muatannya tidak sesuai dengan Pancasila, sampai diangap melegalkan perzinahan.

Pendapat-pendapat kontra tersebut banyak terdengar semenjak Salinan dari Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 beredar di masyarakat.

Salah satu pendapat kontra disampaikan oleh Ahmad Kusyari, Sekjen Ikatan Dai’ Indonesia yang menyatakan, “Dari sisi materil berdasarkan kajian kami, pertama Pasal 1 angka 1 tampak menyepelekan masalah. Kemudian Pasal 3 yang memuat tentang prinsip pencegahan dan penanganan terlihat mengabaikan norma agama.

Padahal kita hidup di negara yang berdasarkan dengan Pancasila dan sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Oleh sebab itu, kami beranggapan bahwa perlu dimasukkannya norma agama ke dalam prinsip pencegahan dan penanganan ini.

Kemudian di dalam Pasal 5, terkesan melegalisasi perbuatan asusila dan seks bebas. Dalam Pasal tersebut berbasis persetujuan, dimana frasa ‘tanpa persetujuan’ seakan-akan menyatakan bahwa penyimpangan yang dilakukan tanpa paksaan menjadi benar dan dibenarkan, jadi kami ingin perbaikan,” ujarnya dalam acara Mata Najwa “Ringkus Predator Seksual Kampus” (10/11/2021)

“Apa yang sudah dilarang dalam agama, yaitu zina, tidak akan dihalalkan hanya dengan Permendikbud ini atau peraturan yang lain,” tambah Ala’I Nadjib, Anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia dalam acara yang sama.

Menanggapi hal ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim menyatakan bahwa dalam ‘menyerang’ suatu permasalahan, kita harus menghasilkan suatu regulasi yang spesifik kepada permasalahan tersebut.

“Permasalahannya adalah kekerasan seksual, kekerasan itu defenisinya adalah secara paksa, dan secara paksa artinya adalaah tanpa persetujuan, itulah alasannya kenapa secara yuridis kita memfokuskan Permen ini hanya untuk kekerasan seksual,” ucap Nadiem dalam kesempatan yang sama.

Kemudian Nadiem juga menambahkan, “Kami di Kemendikbud Ristek tidak sama sekali mendukung seks bebas atau perzinahan, jadi saya tidak bisa menerima jika ada fitnah yang menyebut bahwa ini menghalalkan zina dan seks bebas.

Karena terus terang ini merupakan dua topik yang berbeda, jadi untuk mengatakan bahwa Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 melegalkan seks bebas tolong masyarakat dengan sangat logis harus memilah isu ini, Kami harap, semua masyarakat juga terbuka pikirannya untuk mengerti alasan Kementrian mengeluarkan peraturan seperti ini,” tutup Nadiem.

Nyatanya, Indonesia sangat membutuhkan sebuah peraturan yang mengatur secara tegas tentang pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi. Sudah cukup selama ini orang-orang mengabaikan kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus, dimana mahasiswa acap kali menjadi korbannya.

Negara harus melindungi dengan segenap jiwa generasi muda Indonesia, dikarenakan generasi muda lah yang nantinya akan memimpin negara ini. Jangan sampai dengan maraknya kasus pelecehan seksual di kampus, membuat insan intelektual muda kita menjadi trauma berat dan terhenti pendidikannya.

 

Penulis: Delvi Husna dan Desvana Gia Illahi

0 Comments

Leave a Reply