Gemajustisia.com - Akhir-akhir ini,
media sosial tengah diramaikan dengan mencuatnya isu kekerasan dan pelecehan
seksual di kampus. Isu tersebut mengundang banyak keprihatinan dari berbagai
kalangan di masyarakat. Imej kampus
sebagai wadah bagi para kaum intelektual yang mayoritasnya berasal dari
generasi muda telah ternodai, kampus yang seharusnya menjadi tempat aman bagi
generasi muda Indonesia justru berubah menjadi tempat yang patut diwaspadai. Dengan melihat
kenyataan tersebut, insan intelektual di Indonesia perlu untuk dilindungi
secara tegas oleh hukum dan pemerintah, namun sampai sekarang RUU PKS (TPKS)
masih menjadi sebuah perdebatan dan belum pasti kapan akan disahkan. Salah satu contoh
dari sekian banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampus adalah kasus
pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum Dosen di salah satu Perguruan
Tinggi Negeri di Indonesia. Dimana kasus tersebut baru diketahui akhir-akhir
ini setelah korban membuat video pengakuan yang kemudian menjadi viral di
kalangan masyarakat. Data yang didapat dari
Komnas Perempuan menyatakan bahwa kampus menempati salah satu posisi rentan
sebagai tempat terjadinya pelecehan seksual. Dimana sepanjang tahun 2015-2020,
Komnas Perempuan telah menerima 27% aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi
di Perguruan Tinggi dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga
pendidikan. Kemudian data serupa yang berasal dari Kemendikbud Ristek
menyatakan bahwa sebesar 77% persen dari dosen yang disurvei mengungkapkan,
bahwa kekerasan seksual acap kali terjadi di kampus dan 63% diantaranya tidak
dilaporkan. Korban cenderung
merasa takut untuk melaporkan pelaku yang merupakan tenaga pendidiknya sendiri
karena telah diancam. Pelaku biasanya akan mengancam korban yang merupakan
mahasiswanya dengan embel-embel tidak akan diluluskan di mata kuliahnya, atau
skripsi korban tidak akan diterima. Korban juga merasa ragu untuk melapor
karena pihak kampus yang bersikap acuh tak acuh terhadap aduannya. Dengan rentannya
kasus pelecahan seksual yang terjadi di kampus, maka pemerintah harus bersikap
tegas dan menghukum pelaku dengan hukuman yang setimpal serta seberat-beratnya
agar kasus pelecehan seksual di kampus dapat ditangulangi dan diberantas. Untuk mendukung
dan memberikan kejelasan hukum kepada para penyintas pelecehan seksual, Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi per 3 September 2021 akhirnya mengeluarkan
Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi sebagai upaya untuk menuntaskan dan
memberantas masalah pelecehan seksual di kampus. Melalui
Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021, Kemendikbud membawa harapan yang besar
bagi para korban pelecehan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi. Dengan
adanya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tersebut, diharapkan adanya
ketegasan hukum dalam membela korban dan menghukum pelaku pelecehan seksual. Namun, jika
melihat kenyataan yang ada, Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tidak
sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Peraturan Menteri itu menuai berbagai
kontroversi di berbagai kalangan, mulai dari Pasal yang dinilai multitafsir,
muatannya tidak sesuai dengan Pancasila, sampai diangap melegalkan perzinahan. Pendapat-pendapat kontra tersebut banyak terdengar semenjak Salinan dari
Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 beredar di masyarakat. Salah satu pendapat
kontra disampaikan oleh Ahmad Kusyari, Sekjen Ikatan Dai’ Indonesia yang menyatakan,
“Dari sisi materil berdasarkan kajian kami, pertama Pasal 1 angka 1 tampak
menyepelekan masalah. Kemudian Pasal 3 yang memuat tentang prinsip pencegahan
dan penanganan terlihat mengabaikan norma agama. Padahal kita hidup di negara
yang berdasarkan dengan Pancasila dan sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa. Oleh sebab itu,
kami beranggapan bahwa perlu dimasukkannya norma agama ke dalam prinsip
pencegahan dan penanganan ini. Kemudian di dalam Pasal 5, terkesan melegalisasi
perbuatan asusila dan seks bebas. Dalam Pasal tersebut berbasis persetujuan, dimana
frasa ‘tanpa persetujuan’ seakan-akan menyatakan bahwa penyimpangan yang
dilakukan tanpa paksaan menjadi benar dan dibenarkan, jadi kami ingin perbaikan,”
ujarnya dalam acara Mata Najwa “Ringkus Predator Seksual Kampus”
(10/11/2021) “Apa yang sudah
dilarang dalam agama, yaitu zina, tidak akan dihalalkan hanya dengan
Permendikbud ini atau peraturan yang lain,” tambah Ala’I Nadjib, Anggota
Kongres Ulama Perempuan Indonesia dalam acara yang sama. Menanggapi hal ini
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim menyatakan
bahwa dalam ‘menyerang’ suatu permasalahan, kita harus menghasilkan suatu
regulasi yang spesifik kepada permasalahan tersebut. “Permasalahannya adalah
kekerasan seksual, kekerasan itu defenisinya adalah secara paksa, dan secara
paksa artinya adalaah tanpa persetujuan, itulah alasannya kenapa secara yuridis
kita memfokuskan Permen ini hanya untuk kekerasan seksual,” ucap Nadiem dalam
kesempatan yang sama. Kemudian Nadiem
juga menambahkan, “Kami di Kemendikbud Ristek tidak sama sekali mendukung seks
bebas atau perzinahan, jadi saya tidak bisa menerima jika ada fitnah yang
menyebut bahwa ini menghalalkan zina dan seks bebas. Karena terus terang ini
merupakan dua topik yang berbeda, jadi untuk mengatakan bahwa Permendikbud
Ristek Nomor 30 Tahun 2021 melegalkan seks bebas tolong masyarakat dengan
sangat logis harus memilah isu ini, Kami harap, semua masyarakat juga terbuka
pikirannya untuk mengerti alasan Kementrian mengeluarkan peraturan seperti ini,”
tutup Nadiem. Nyatanya,
Indonesia sangat membutuhkan sebuah peraturan yang mengatur secara tegas
tentang pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi. Sudah
cukup selama ini orang-orang mengabaikan kasus-kasus pelecehan dan kekerasan
seksual yang terjadi di lingkungan kampus, dimana mahasiswa acap kali menjadi
korbannya. Negara harus melindungi dengan segenap jiwa generasi muda Indonesia,
dikarenakan generasi muda lah yang nantinya akan memimpin negara ini. Jangan
sampai dengan maraknya kasus pelecehan seksual di kampus, membuat insan
intelektual muda kita menjadi trauma berat dan terhenti pendidikannya.
Penulis:
Delvi Husna dan Desvana Gia Illahi
0 Comments