Gemajustisia.com - Hidup
di negara yang masih menjunjung tinggi patriarki sudah pasti akan memberikan
banyak sekali privillage bagi para kaum Adam di dalamnya. Saat dirumah,
anak laki-laki cenderung diperlakukan bak raja yang hanya perlu duduk berdiam
diri, sementara anak perempuan akan diajarkan dan dilatih untuk menyelesaikan
pekerjaan rumah sehari-hari bersama ibu mereka. Bahkan
saat berada diluar rumah, para wanita tidak dipercaya untuk menduduki jabatan
yang lebih tinggi dari para laki-laki. Perempuan juga harus bergerak dengan
rasa takut akan maraknya peristiwa pelecehan secara verbal maupun secara fisik
yang kerap menghantui mereka. Pada umumnya orang-orang yang menjunjung tinggi
patriarki masih beranggapan bahwa kaum perempuan harus tetap berada di bawah
laki-laki, harus terkurung dirumah dan hanya menjadi objek seksualitas. Empat
orang pemuda, yaitu Cupay, Alfi, Wira, dan Habib – yang tengah menjalani masa
magangnya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menyadari bahwa saat ini sudah
sangat sulit untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan. Mereka
juga sadar bahwa sangat banyak kasus-kasus yang merendahkan perempuan baik
berupa catcalling, candaan seksis, maupun berupa kekerasan seksual
lainnya. Berbekalkan tugas project Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU)
yang diberikan oleh senior mereka di LBH, keempat pemuda ini memutuskan untuk
mengadakan sebuah webinar dengan tema kesadaran mengenai kesetaraan gender
serta ruang aman dengan mengangkat nama Sekolah Gender. Keberhasilan
event webinar Sekolah Gender pada saat itu semakin membuka pikiran ke-empat
pemuda tersebut akan pentingnya ruang aman bagi setiap orang, terlepas dari
gender orang tersebut. Berbagai macam pemikiran-pemikiran positif baru ini
menimbulkan pertanyaan di kepala keemapat pemuda ini tentang bagaimana cara
menyuarakan setiap pemikiran mereka agar mampu didengar oleh banyak orang. Dari
pembicaraan-pembicaraan kecil ini akhirnya keempat pemuda tersebut sepakat untuk
melanjutkan dan me-launching Sekolah Gender yang awalnya hanya berupa event
kecil menjadi sebuah komunitas pada tanggal 18 Januari 2021. Melalui
Sekolah Gender, Cupay, Alfi, Wira, dan Habib membentuk sebuah tempat yang
dinamakan ruang setara yang dapat mempertemukan mereka dengan para penyintas
kekerasan seksual, kaum pelangi, hingga para homopobic. Mereka dipertemukan
untuk saling bertukar pikiran dan saling memahami satu sama lain. Melalui
perbincangan dengan para penyintas kekerasan seksual, keempat pemuda ini
semakin menyadari banyaknya isu-isu sosial yang berkaitan dengan gender yang
tidak hanya memakan korban perempuan, namun juga mengorbankan para laki-laki. Mulai
dari adanya toxic masculinity yang terus berakar dan menjalar di
lingkungan masyarakat patriarki yang sering kali beranggapan laki-laki tidak
boleh lemah, menyebabkan para laki-laki tidak dapat bersikap layaknya manusia
biasa yang bisa menangis, menganggap aneh laki-laki yang melakukan pekerjaan
rumah, memasak hingga sebagainya. Bahkan para laki-laki juga tak luput menjadi
korban dari berbagai kasus pelecehan hingga kekerasan seksual. Perjalanan
Cupay, Alfi, Wira, dan Habib dalam mewujudkan impian mereka tentu saja tak
berjalan mulus. Membentuk suatu komunitas yang melek isu sosial ditengah
masayarakat minang yang sangat kental akan patriarki dan landasan agama
tentunya juga menjadi suatu tantangan dan membawa pengalaman pahit tersendiri
bagi tim Sekolah Gender. Penolakan
demi penolakan dari masyarakat terus mereka terima., hingga usaha pembubaran acara
yang akan segera dilangsungkanpun tak dapat mereka hindari. Salah
satu Founder Sekolah Gender, Alfi bercerita bahwa masyarakat sering salah
mengartikan judul event yang mereka angkat. “Bahkan
saat International Woman Day, Sekolah Gender mengadakan suatu kegiatan
yang mengusung tema Maukah Kita Bercinta dengan Kesadaran Gender yang
sejatinya adalah sebuah event yang diadakan sebagai bentuk dari
peng-aplikasian kesadaran akan kesetaraan gender, malah disalahartikan oleh
masyarakat sebagai pesta free sex” cerita Alfi saat ditemui di Ruang
Setara di LBH Padang. Masyarakat
juga berusaha keras untuk membubarkan acara tersebut, sehingga acara
yang awalnya akan dilaksanakan di Café Jalan Bandung, Ulak Karang Selatan, Kota
Padang harus dipindahkan ke salah satu rumah warga sekitaran lokasi. Sekolah
Gender juga sering kali disebut masyarakat sebagai komunitas pendukung LGBT
hanya karena ketersediaan ruang aman (ruang setara) yang menerima dan merangkul
berbagai macam lapisan masyarakat. Alfi
dan Habib juga menekankan bahwa Sekolah Gender berfokus untuk mengedukasi
masyarakat dan menjadi teman bagi para korban kekerasan seksual. Keputusan sekolah gender untuk menyediakan
ruang aman bagi semua gender tak terkecuali para kaum LGBT bukan berarti mereka
mendukung orientasi seksual tersebut. Namun
kembali lagi pada tujuan dan keinginan Sekolah Gender, yaitu memberikan ruang
aman bagi semua gender. Sekolah Gender hanya memberikan ruang aman bagi mereka
yang tidak diterima dimanapun. Dalam hal ini sekolah gender terus berupaya
untuk tidak berat sebelah dan menyalahi tujuan mereka. Karena bagi mereka, “kita
tidak dapat memungkiri bahwa masyarakat masih sulit untuk menerima adanya orang-orang
yang berbeda di lingkungan mereka”. Bahkan
tak jarang pula masyarakat menujukkan penolakan bagi para korban kekerasan
seksual. Jika dikaji lebih lanjut, kita tidak dapat memungkiri bahwa
orang-orang yang diterima oleh Sekolah Gender tetaplah manusia dan harus dimanusiakan.
Sekolah
Gender juga berpendapat bahwa seorang homopobic sekalipun dapat berbaur
dengan LGBT selama mereka tidak menjustifikasi orang-orang tersebut. Masyarakat
cukup fokus pada kepribadian orangnya, tanpa memikirkan apa orientasi seksual
yang mereka miliki. Masyarakat harusnya fokus pada fakta bahwa seseorang telah
menjadi korban dari adanya tindak kekerasan seksual, tanpa harus mempertanyakan
pakaian apa, maupun latar belakang yang dimiliki korban tersebut. Jika semua
lapisan masyarakat mampu berpikir demikian, maka adanya ruang aman dimanapun
bukan lagi sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Diusia
berdirinya yang masih tergolong muda, Sekolah Gender telah menyelenggarakan
berbagai seminar, loka karya, berkampanye untuk menyuarakan keresehan mengenai
isu-isu sosial yang berkaitan dengan gender. Sekolah gender yang di isi
anak-anak muda penuh keadilan dan kesetaraan ini, juga telah menyelenggarakan
sekolah edukasi bagi masyarakat maupun bagi orang-orang yang memiliki orientasi
seksual berbeda untuk tidak menjustifikasi serta melakukan hal-hal yang akan
mengganggu satu sama lain. Dan
pada saat ini, Sekolah Gender telah berhasil mengumpulkan anggota yang mereka
sebut dengan rekan setara sebanyak 34 orang. Para anggota tidak hanya berdomisili
di Padang, namun juga dari Bukittinggi, Mentawai, Jember, hingga ada yang
berasal dari Makasar dan Ternate. Melalui
Sekolah Gender diharapkan masyarakat lebih menyadari bahwa kesetaraan bagi
korban kekerasan seksual maupun orienatsi seksual berbeda harus ada dan
dilindungi oleh hukum dan moral. Sekolah Gender dapat ditemui di Ruang Setara LBH
Padang, Jl. Pekan Baru No.11a, Ulak Karang Selatan, Kecamatan Padang Utara,
Kota Padang dan dapat dihubungi melalui laman instagram @sekolahgender_sumbar.
Penulis: Desri Rahayu
0 Comments