GemaJustisia.com-Sore hari yang sejuk pada
Jum’at (07/10/2022) di kampus ternama Universitas Andalas. Dari Siang
langit terlihat mendung cemas-cemas akan turun hujan namun hanya gerimis yang
lalu menyapa. Terlihat
angkot berwarna hijau dan biru dengan merek Colt T berjejer rapih di depan
Fakultas Biologi. Di seberang itu, terlihat tujuh orang yang duduk di pinggiran
jalan asik bercerita satu sama lain, ada juga yang sibuk memainkan ponselnya.
Mereka adalah para sopir angkutan kota (angkot) yang tengah beristirahat sekaligus ngetem menunggu
Mahasiswa pulang kuliah. Paling pinggir duduk seseorang yang
kala itu mengenakan baju kaus hitam, celana jeans, sandal jepit swallow, dan
topi yang senada dengan warna bajunya. Dia adalah Mulyadi, pria berusia 43
tahun yang ikut duduk bersama teman-temannya menunggu angkot terisi penuh oleh
penumpang. Pria yang akrab disapa Imul itu
selalu keluar subuh-subuh menatap langit yang masih gelap untuk memanaskan
angkotnya dan mulai untuk mencari nafkah. Setiap harinya, Imul keluar dari
rumah jam lima subuh dan pulang pukul enam sore untuk memenuhi kewajibannya
sebagai kepala keluarga. Belakangan ini, menjadi sopir angkot
cukup membuat Mulyadi memijit kepala. Pria kelahiran 1979 ini mengaku bahwa
kenaikan harga BBM adalah salah satu penyebabnya. Pekerjaan yang digeluti saat
ini membuat Mulyadi harus mengisi bahan bakar minyak (BBM) angkot hijau yang ia
bawa 25 liter setiap hari. Sebelum harga BBM dinaikkan oleh
pemerintah, Mulyadi hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp.200ribu per hari.
Sedangkan saat ini, setelah terjadi kenaikan harga BBM, dengan berat hati
Mulyadi harus mengeluarkan uang berkisar antara Rp.280ribu hingga Rp.300ribu
per hari. Sopir angkot yang sudah beristri dan
memiliki dua orang anak ini mengaku bahwa pendapatannya perhari itu rata-rata
Rp. 500ribu. “Untuk membeli Solar saja sudah menghabiskan uang Rp.280ribu
kemudian juga harus ada setoran kepada pemilik mobil sebesar Rp.150ribu,” kata
Mulyadi bercerita kepada salah satu wartawan Gema Justisia. Dilihat dari sana, rata-rata uang yang
dibawa pulang oleh Mulyadi adalah kurang dari Rp.100ribu setiap harinya. Imul
tersenyum kecut ketika harus bercerita mengenai pendapatan dan tanggungannya
sebagai seorang ayah dari dua orang anak. Anak pertama Mulyadi duduk di bangku
satu SMA dan anak kedua duduk di bangku satu SMP. Mulyadi juga menyadari bahwa
pengorbanan waktu yang ia berikan untuk menarik angkot tidak sebanding dengan
uang yang didapatkannya. Waktunya banyak tersita untuk mencari nafkah demi anak
dan istri. “Bukannya tidak ingin mengganti pekerjaan, hanya saja saat ini tidak
ada pekerjaan lain yang bisa diandalkan. Mengingat kemampuan yang dimiliki
hanya itu, maka sulit untuk beralih ke pekerjaan yang lain,” tutut Mulyadi
memberikan alasan. Namun dengan wajah penuh keikhlasan
ia juga selalu bersyukur dengan yang didapatkan dan merasa cukup. Pria yang
sudah menjadi sopir angkot selama 25 tahun itu berpegang pada prinsip, di jalan
yang buntu di sana ada jalan, semua tergantung dari usaha. Mobil angkot merek Colt T yang dibawa
oleh Mulyadi tersebut bisa memuat tiga belas orang penumpang. Tujuh di bangku
panjang, lima di bangku pendek, dan satu orang di bangku depan sebelah sopir.
Angkot yang dibawa oleh Mulyadi setiap hari tidak disertai dengan speaker di
belakang, hal itu membuat angkotnya lebih lapang. Berbeda
dengan angkot lain yang memiliki speaker. Jika terdapat speaker
maka memakan tempat sehingga hanya bisa memuat penumpang enam di bangku panjang
dan empat di bangku pendek. Untuk mengisi penuh muatan angkot tersebut, tak
dapat dielakkan memang banyak sopir angkot yang kejar-kejaran di jalan. Apalagi saat
ini Wakil Rektor (Warek) 2 Universitas Andalas menurunkan kebijakan untuk semua
angkot hanya boleh berjalan di pinggiran Unand saja. Biasanya angkot
diberikan akses untuk masuk dari bundaran di dekat masjid Nurul Ilmi naik ke
atas sampai ke Gedung Fakultas Ilmu Budaya. Dulu juga
sering terlihat angkot berwarna hijau maupun biru ngetem menunggu
mahasiswa di depan gedung FIB tersebut. Namun setelah kebijakan yang
dikeluarkan oleh Warek 2 Unand, hanya satu dua angkot yang berani naik ke atas.
Mulyadi sebagai salah satu sopir angkot turut merasakan dampak tersebut. Sepi
penumpang, adalah masalah utama yang ditimbulkan dari kebijakan itu. Hal ini bukan yang pertama kalinya
terjadi. Dimasa Covid 19 berlangsung pihak kampus juga pernah memberlakukan
kebijakan yang serupa terkait akses sopir angkot. Pada saat itu mahasiswa
menyuarakan kesulitan dan keberatannya terhadap kebijakan tersebut hingga
akhirnya angkot boleh masuk ke tengah. Tapi Imul serta sopir angkot lainnya
sangat menyayangkan kebijakan tersebut kembali berlaku dan tidak ada aksi
protes dari mahasiswa hingga saat ini. Mulyadi dan beberapa temannya sesama sopir angkot
sering merasa kasihan melihat mahasiswa yang harus berjalan di tengah hujan
menuju tempat angkot mangkal. Lebih-lebih
mahasiswa FH, FISIP, dan FIB. Mulyadi menyaksikan sendiri bagaimana para
mahasiswa tersebut harus kehujanan untuk mencapai angkotnya yang sedang ngetem di
bundaran dekat Masjid. Ada rasa kasihan dan iba dalam hati Imul melihat hal
tersebut. Namun ia dan sopir angkot lainnya sepakat untuk mematuhi kebijakan
Warek 2. Mulyadi
pribadi merasa bahwa dirinya sudah patuh atas segala aturan yang diberikan oleh
pihak Unand. Jika ada yang melanggar aturan tersebut, maka satpam atau pihak
keamanan Unand akan mengambil SIM dan STNK mobil milik sopir. Dulu sekali, rute angkot adalah Pasar
Raya-Pasar Baru. Tapi setelah tahun 1996 baru keluar KP (Kartu Pengawas) dari
dinas perhubungan rute Pasar Raya-kampus Unand. Angkot hijau dengan rute kampus
Unand-Pasar Raya, sedangkan angkot biru dengan rute kampus Unand-Pasar
Raya-kampus Unand jati. Dan sekarang keluar lagi kebijakan dari pihak Unand,
rute angkot hanya di tepi saja, tidak boleh ke tengah. Mulyadi sadar betul akan dirinya
sebagai sopir angkot yang datang ke Unand sebagai tamu. Tidak mungkin tamu yang
akan membatasi kebijakan Unand selaku tuan rumah. Oleh karena hal tersebut
Mulyadi menunggu tindakan langsung dari mahasiswa. Warek 2 beralasan bahwa kebijakan
tersebut dilakukan karena banyak hal. Dimulai dari angkot yang menyebabkan kemacetan,
menimbulkan keributan, ugal-ugalan di dalam lingkungan kampus, mengganggu
aktivitas belajar, dan macam-macam. Sepanjang pengalaman hidupnya,
Mulyadi tidak pernah menyaksikan adanya penurunan harga BBM setelah putusan
naik dikeluarkan. Dengan alasan tersebut, ia tidak ingin berharap apapun. Namun
terkait kebijakan Warek 2 Unand, Mulyadi serta teman-temannya yang lain
berharap mahasiswa dapat mengatasi masalah itu. Mulyadi sengaja untuk mengajak sopir
angkot yang lainnya mematuhi kebijakan tersebut agar mahasiswa ikut merasakan
dampaknya. Sehingga dari dampak yang dirasakan dapat menumbuhkan keinginan yang
diwujudkan dalam aksi nyata untuk meminta kepada pimpinan. Jika mayoritas
mahasiswa memang tidak nyaman dengan kebijakan baru ini, maka bersuaralah. Itulah harapan yang disampaikan oleh
Mulyadi mewakili sopir angkot lainnya. Dengan suara mahasiswa tersebut akan
mampu mengurangi kekalutan sopir angkot di tengah keadaan harga BBM yang
mencekik.
Reporter: Nadian
0 Comments